Kamis, 16 Januari 2014

Wajah Pertelevisian Indonesia

Tv Online

Siaran Televisi kita dewasa ini telah menyajikan beberapa hal yang sebenarnya harus kita sikapi secara arif, mengingat televisi sangat berperan besar dalam membentuk karakter bangsa, di mulai dari tingkat kita  dewasa, anak remaja bahkan para anak-anak balita dibawah umur.

Merujuk kepada UU No. 32 tahun 2002 Tentang Penyiran Bab II Asas, Tujuan, Fungsi dan Arah Pasal 3 bahwa penyiran diselenggrakan dengan Tujuan untuk memperkukuh Integrasi Nasioal, terbinanya watak jati diri bangsa yang beriman dan bertaqwa, Mencerdaskan kehidupan bangsa, Memajukan kesejahteraan Umum dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri demikratis adil dan sejahtera serta menumbuhkan industri penyiaran Indonesia.

Sinetron yang seharusnya sudah sampai di episode terakhir tiba-tiba berlanjut lagi dengan jalan cerita yang menggelikan. Lebih sial lagi muncul season  2, 3, 4 dan seterusnya mungkin menunggu pemainnya tua. Pada akhirnya kita memang tak usah banyak berharap, bukan berarti pesimis, tapi jangan memberikan segenap hati ketika memilih menonton tayangan TV Indonesia saat ini. Ujungnya kita hanya akan menghabisi perasaan sendiri. Tapi hal ini rasanya sulit karena sekeras apapun penonton mengecam sebuah sinetron yang dinilai tidak mendidik, toh tiap sore mereka nongkrong menantikannya. Sebanyak apapun kicaun di twitter mengutuki ajang pencarian bakat yang penuh drama, sepanjang itu pula kita terus menontonnya dan mau-maunya tetap mengirim sms. Kita sebagai penonton dirugikan tapi sekaligus juga menikmati dan justru memelihara kerugian itu. Kita memang aneh dan televisi-televisi Indonesia adalah pihak yang bisa kita mintai pertanggungjawaban atas segala kerusakan yang membuat penonton Indonesia menjadi masyarakat yang aneh.

Televisi mungkin salah satu produk loncatan teknologi media informasi yang paling besar abad ini. Televisi tak hanya membuat jarak dunia semakin menyempit dan batas-batas dalam kehidupan manusia semakin mendekat, tapi juga mampu menembus ruang-ruang yang sebelumnya tak dibayangkan oleh manusia. Televisi mampu mewarnai peradaban dan dalam banyak hal tampak mempercepat bergulirnya peradaban tersebut. Sayangnya dari televisi pula lahir nilai-nilai baru yang tak seiring sejalan dengan apa yang diharapkan. Di satu sisi televisi diharapkan menjadi sarana dan sumber edukasi serta pembentukan masyarakat yang sehat, tapi di sisi lain televisi juga membuat penontonnya menjadi “sakit”.

Rating disinyalir dan diyakini kuat sebagai penyebab mengapa wajah televisi Indonesia saat ini begitu mengenaskan. Rating seperti pasangan serasi bagi industri televisi modern. Saat ini rasanya hampir seluruh tayangan televisi Indonesia dibuat dalam kerangka berfikir rating & share. Tidak sepenuhnya keliru memang tapi sayang rating telah membuat televisi Indonesia menjadi penyembah angka-angka yang merusak ruang tontonan pemirsa.

Tolak ukur keberhasilan sebuah tayangan TV saat ini masih dilihat dari angka rating. Rating dianggap berbanding lurus dengan jumlah penonton. Semakin banyak yang menonton, semakin tinggi nilai ratingnya dan itu berarti semakin digemari tayangannya. Ujung dari semua ini adalah iklan. Jam-jam tayang yang memuat tayangan dengan rating tinggi akan diburu oleh pemasang iklan tak peduli berapapun mahalnya harga slot iklan tersebut. Jam 18.00 sampai 22.00 misalnya, selama ini dianggap sebagai jam tayang kelas dewa di mana harga slot iklan pada rentang waktu tersebut jauh lebih mahal. Tak heran jika sejumlah stasiun TV memasang tayangan unggulan mereka pada jam-jam tersebut. Ironisnya di jam-jam itu pula wajah televisi Indonesia terlihat buruk dan sakit. Program-program yang kerap dinilai sebagai sinetron sampah atau reality show “drama” lahir di jam-jam itu.

Rating memang boleh dirujuk sebagai bentuk popularitas sebuah tayangan dan banyaknya jumlah penonton, tapi sayang di Indonesia rating berbanding terbalik dengan kualitas tayangan yang sebenarnya “dibutuhkan” oleh masyarakat.

Salah satu puncak darurat rating sekaligus menjadi tamparan hebat bagi dunia penyiaran Indonesia adalah Panasonic Award tahun 2013 yang digelar beberapa waktu lalu. Ajang yang berdekatan dengan hari penyiaran nasional itu memunculkan deretan pemenang yang ironisnya program-program tersebut sebagian di antaranya adalah tayangan langganan teguran KPI. Apa artinya?. Silakan jawab sendiri. Tapi tidak salah jika menatap Panasonic Award 2013 kemarin sebagai ringkasan rusaknya tayangan TV Indonesia dan sayangnya juga menunjukkan bahwa sebagian pemirsa kita telah terbiasa dengannya.

Tapi mengapa “tayangan-tayangan sakit” itu tetap bertahan dan ditonton oleh pemirsa?. Di sinilah televisi telah melakukan dosa besar dengan tidak memberikan banyak pilihan edukatif kepada penontonnya. Sebagian penonton yang cerdas akan pergi dari depan layar TV ketika disuguhi tayangan-tayangan itu. Tapi rasanya lebih banyak lagi pemirsa yang pada akhirnya tanpa sadar menjadi permisif, mereka mengutuki tapi juga menggemari tayangan-tayangan itu. Rating pun dihitung tinggi, stasiun TV ketagihan, sinetronnya diperpanjang, dramanya diulur-ulur dan seterusnya demi merawat slot iklannya. Rantai inilah yang melatarbelakangi lahirnya tayangan-tayangan yang membodohi masyarakat.

Wajah televisi Indonesia memang tampak gemerlap dan sangat komersil. Seolah ini menandakan kemajuan dan keunggulan pertelevisian kita. Tapi di balik itu semua wajah televisi Indonesia sesungguhnya sedang sakit. Wibawa televisi Indonesia perlu dikembalikan. Sayang panggung terlanjur kejam dan tak memberi cukup ruang  pada sosok-sosok penuh idealisme yang ingin memperbaikinya. Semuanya karena ideologi rating.

Referensi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar