Pendidikan adalah penggerak suatu bangsa dalam memajukan peradabannya. Perkembangan sebuah bangsa akan dipengaruhi oleh tingkat kualitas Pendidikan yang ada karena pendidikan menjadi fondasi utama dalam membangun sebuah generasi muda yang kelak akan memberikan arah pada suatu bangsa. Lahirnya bangsa Indonesia tidak terlepas juga dari tokoh besar dan pemuda bangsa yang berpendidikan. Oleh karena itu, setelah Indonesia merdeka bangsa ini sadar akan pentingnya pendidikan. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai konstitusi pertama yang lahir menegaskan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak mendapat pengajaran. Hal itu mencerminkan keseriusan Negara ini dalam bidang pendidikan sejak lahir. Namun apabila kita melihat pada masa sekarang, permasalahan pendidikan yang muncul semakin kompleks dan beragam.
Pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional seperti kehilangan semangat pendidikan yang telah dimanahkan konstitusi. Salah satu tujuan bangsa Indonesia yaitu mencerdaskan anak bangsa melalui pendidikan sepertinya masih sangat jauh untuk bisa dikatakan telah berhasil apabila kita melihat kondisi yang ada saat ini. Permasalahan yang muncul salah satunya berakar dari kebijakan pemerintah yang kurang tepat. Sistem kebijakan yang cenderung bersifat top-down membuat tidak maksimalnya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh, kebijakan baru mengenai kurikulum 2013 yang baru saja dikeluarkan sementara kondisi yang ada banyak di daerah pelosok nusantara ini sekolah-sekolah bahkan belum terjamah oleh kurikulum-kurikulum yang sebelumnya. Ini membuktikan bahwa minimnya perhatian mengenai pemerataan yang seharusnya lebih diutamakan mengingat amanah yang ada dalam konstitusi bahwa yang berhak atas pendidikan adalah setiap warga Negara dan bukan hanya segilintir masyarakat yang beruntung.
Pendidikan mempunyai porsi lebih dalam pembiayaan negara. Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 memang telah mengamanatkan 20% dari APBN digunakan untuk pendidikan bangsa, jumlah yang cukup tinggi dibandingkan pada tahun 1990-an dimana saat itu pembiayaan pendidikan dari APBD hanya berkisar 5-15%. Namun ternyata jumlah yang cukup besar tersebut penggunaannya masih belum maksimal. Rata-rata hampir mencapai 40% dari biaya pendidikan APBN maupun APBD telah terserap oleh biaya gaji untuk guru. Belum lagi pembiayaan yang cenderung sentralisasi, semakin memberikan kesempatan kecil bagi orang-orang yang mengenyam pendidikan di daerah yang jauh dari pusat kota. Agaknya, faktor ekonomi hampir selalu menjadi masalah utama anak putus sekolah. Hal ini sangat berbanding terbalik dengan biaya pendidikan yang dikeluarkan oleh pemerintah sudah cukup besar. Ditambah lagi dengan adanya privatisasi pendidikan yang sudah mulai dirancang dengan dibentuknya badan hukum pendidikan menjadikan pemerintah seperti lepas tangan terhadap pendidikan di Indonesia. Keadaan yang terjadi adalah semakin banyaknya hutang Indonesia ke luar negeri sehingga sektor pendidikan ikut menjadi korban dengan dilakukannya privatisasi. Namun pengorbanan yang harus diterima ketika privatisasi dan swastanisasi sektor pendidikan benar-benar dijalankan akan sangat besar bagi bangsa ini. Semakin mahal biaya pendidikan pasti akan terjadi karena lembaga pendidikan mempunyai otonomi yang luas dan berusaha meningkatkan mutu dan kualitas. Dampaknya adalah orang yang keadaan ekonominya kurang akan semakin sulit mendapatkan akses pendidikan sehingga jurang pemisah antara miskin dan kaya, pintar dan bodoh akan semakin lebar. Paradigma dari masyarakat yang memandang bahwa pendidikan yang bagus haruslah mahal itu memang benar. Namun kita semua harus sama-sama menyadari bahwa tidak semua generasi muda bangsa ini mampu untuk membayar mahal dan untuk orang-orang itu, pemerintahlah yang harus bertanggungjawab.
Memang secara kuantitas dunia pendidikan Indonesia berkembang pesat, meskipun tidak di ikuti oleh kualitas yang di harapkan. Hal ini bisa di sebabakan oleh berbagai faktor yang terkait dengan proses rekruitmen guru yang terkesan masih terkontaminasi KKN yang semankin menggurita, sehingga sangat sulit untuk dipangkas sampai ke akar-akarnya secara tuntas.
Selain itu meskipun pemerintah sudah mengkampanyekan wajib belajar disatu sisi, akan tetapi disisi lainnya justru kontra produktif dengan apa yang dikampanyekan pemerintah sebagai akses makin mahalnya biaya pendidikan tersebut. Dalam konteks ini seakan-akan pendidikan hanya bagi keluarga kaya saja karena hanya mereka yang bisa menjangkaunya.
Apalagi pemerintah kelihatannya kurang ketat dalam pengawasan terhadap berbagai sekolah yang konon gratis karena sudah didanai oleh pemerintah, tetapi dilapangan hal itu kurang efektif bahkan sekolah-sekolah yang semestinya gratis masih juga dipungut berbagai dana dari para orang tua siswa.
Jika ditanyakan kepada guru bisa dipastikan mereka akan menyalahkan terlambatnya pencairan dana bantuan pemerintah yang selalu menghambat operasional sekolah, sehingga untuk menutupinya mereka perlu sumbangan dana dari masyarakat atau keluarga dari rombongan belajar tersebut.
Memang hal itu benar adanya, apalagi sekiranya terjadi pada sekolah-sekolah swasta, keterlambatan pencairan dana dari pemerintah sangat menghambat operasional sekolah. Lembaga-lembaga pendidikan swasta tentunya sangat membutuhkan dana tersebut untuk membayar honor guru, dan dana operasional sekolah lainnya. Keluhan-keluhan semacam itu sering terjadi dan tereus terjadi selama kinerja pemerintah itu masih monoton seperti sekarang ini.
Selain itu banyak diantara guru-guru melakukan KBM-nya tidak sesuai dengan kompetensinya ,seiring dengan tidak meratanya penyebaran guru disetiap daerah. Kebanyakan guru-guru menginginkan bertugas di kota-kota, dan enggan bertugas di daerah terpencil. Aplagi sekarang sebagian guru itu terdiri dari ibu-ibu guru yang dengan dalih ikut suaminya maka ketidak merataan pendistribuan guru semakin nyata.
Sementara pemerintah sangat ngotot atas terselenggara UN dengan dalih untuk mengetahui dan memetakan kualitas pendidikan nasional disatu sisi. tetapi disisi lainnya terdaapat ketidak merataan sarana dan prasarana pendidikan yang berdampak kepada terhadap ketidak meratanya kualitas pendidikan Indonesia. Nah karena potret pendidikan Indonesia masih buram, perbedaan kwalitasnya seirama dengan topografi kepulauan Indonesia, semakin terpencil dan jauh dari pulau jawa maka semakin redahlah kualitas pendidikannya.
Referensi
edukasi.kompasiana.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar